Ketika kudengar keputusan darinya bahwa ia meninggalkanku, serasa jiwaku laksana kapas yang tertiup angin. Aku hampir gila karenanya. Aku berteriak sekuat tenaga seolah-olah ingin mengguncang dunia dengan suaraku.
Wahai dunia, begitukah balasanmu pada pecinta yang tulus ini? Begitukah balasan yang harus aku terima atas kesetiaan dan pengorbananku? Kemarin aku merasa bayang-bayang kekasihku masih hadir dalam mimpiku, namun kini bayangan itu pun engkau renggut. Apa lagi yang aku miliki sekarang? Wahai dunia, engkau telah mencabik-cabik tubuhku yang lemah tak berdaya ini, mengapa engkau belum puas juga hingga tega merenggut mimpi indahku.
Duhai kasih, di manakah engkau simpan kenangan dan janji kita? Semudah itukah engkau menyerah dan melupakan beban penderitaan yang aku tanggung? Tangan siapakah yang telah mencengkeram dan menjauhkan dirimu dariku? Duhai pujaanku, datanglah kemari barang sejenak, tikamkan belati ke jantungku. Bagiku, tikaman belati yang mencabut nyawaku akan lebih indah daripada hidup menanggung siksaan cinta.
Cinta menyala di sekujur tubuhku bersama desah nafas dan aliran darah. Sementara cintamu hanya di lidah, tidak pernah ada di hatimu. Cinta dalam hatiku kian hari kian bertambah. Apakah menurutmu cintaku tidak berharga bagai bongkah batu di kakimu? Apa arti janji, sumpah ataupun ikrar yang pernah engkau katakan? Penghinaan demi penghinaan aku terima dengan harapan agar kelak hatiku dapat menyatu dengan hatimu. Ibarat taman, tiada kekayaan yang aku miliki selain bunga yang harum dan ranum. Namun, kini semua kekayan itu telah habis dimangsa burung gagak. Apa arti malam-malamku penuh duka nestapa yang aku tanggung untukmu jika pada akhirnya orang lain jua yang mendapatkannya.
Saat pertama kali jiwaku ditakdirkan menjadi milikmu, aku hanya berpikir untuk menyerahkan kehidupanku untukmu. Tetapi, sekarang aku bingung memikirkan janji yang tidak engkau tepati. Kini tiada lagi harapan, tidak mungkin harum baumu kucium, sebab engkau telah menjadi milik orang lain dan itu berarti ajalku telah mendekat.
Wahai cintaku, ke manakah engkau saat aku merana, terusir dan kehilangan dirimu? Hidup hanya menjalar sesaat di uratku dan kemudian bukan milikku sendiri tapi menjadi milikmu. Sejak harapan tidak tersenyum lagi padaku aku hanya bisa meratap, mengenang masa lalu dan menyesali masa lalu.
Kasih, kedukaan tersenyum padaku dan aku pun tersenyum padanya, sedangkan kedukaan membuat engkau ketakutan. Padahal engkaulah yang telah menciptakan.
Makhluk dunia telah merenggut sesuatu yang telah diberikan surga padaku. Saat aku jatuh sakit, mereka menjauhkan pujaan hatiku dari sisiku. Saat aku kedinginan seperti burung yang tersiram air, mereka, mencampakanku seperti melempar anjing. Tidak ada seorang pun yang bersedia menolongku serta sudi mendengar ratapanku. Kini pujaan hatiku, kumbang kelanaku telah pergi. Dia telah menjadi milik orang lain. Penakluk hatiku telah pergi bersama musafir lalu.
Sungguh, tidak ada waktu yang lebih baik selain saat aku bersamanya. Hanya kepada Allah aku memohon agar ia dijauhkan dari segala marabahaya, dari mulut-mulut buas yang suka menghina dan menyakiti dirinya. Sekiranya ada orang yang ingin menyakitinya maka lebih baik ia tikamkan belati ke jantungku. Ya Allah, jauhkan ia dari orang-orang yang suka memperlihatkan air mata kesedihan tapi jauh dalam lubuk hatinya mereka tertawa gembira.
Ya Allah, selamatkan aku dari kegelapan yang tiada akhir ini. Berilah aku satu hari kesenangan, satu peristiwa yang menyenangkan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar