04 Desember 2008

RINTIHAN HATIKU I

“Aku menemukan sekuntum bunga, bunga yang indah dikelilingi oleh onak dan duri. Aku berusaha mendapatkannya tapi penjaganya menghardikku. Lihatlah hatiku, terluka dan berdarah.


Cintaku padanya laksana air yang jernih dan bersih. Tapi, apalah artinya air yang jernih jika tak mampu menghilangkan dahaga. Aku ibarat air di samudera, namun apalah artinya jika airnya tak mampu mengalir dan ombaknya tidak mampu mencapai pantai karena terhalang karang.


Bagiku cintanya bagai awan yang menggantung di langit, lalu menjadi hujan yang mengairi kebun-kebun kehausan. Hujan itu membasahi seluruh taman namun ia tak pernah sampai ke taman hatiku. Hujan itu telah membiarkan tamanku menjadi menjadi kering dan dedaunan yang hijau menjadi layu. Berulang kali aku merintih, memohon dan berharap tapi tetap saja ia tak datang.


Ia bagai setangkai melati putih dan bersih yang memancarkan harum semerbak mewangi. Tapi betapa malang nasib sang melati, tempatnya begitu jauh tak tergapai tangan.


Dalam hati telah terukir satu nama dan ia tak bisa digantikan oleh yang lain. Walau emas dan permata ditaburkan untuk menyilaukan pandangan mata, namun jiwa yang penuh cinta tidak akan terlena oleh kemewahan dunia.


Duhai ..... jika kumiliki seluruh kemewahan dunia tentu dengan senang hati akan kupersembahkan semuanya untukmu. Aku tidak bersedih karena kemiskinan yang mebelit karena harta bukanlah harta yang pantas untukmu. Tidak mungkin aku membeli hati seorang wanita dengan emas dan permata, karena cinta tidak sebanding dengan emas sebesar gunung sekalipun. Cinta yang dapat dibeli dengan emas dan permata hanya akan melahirkan senyum kepalsuan dan lebih baik aku mati daripada mendapatkan cinta yang seperti itu. Cinta harus dibeli dengan kekayaan yang lebih tinggi nilainya daripada segala harta dunia. Akan kuberikan pada kekasihku jiwa yang tulus, hati yang ikhlas serta kehidupan dan nafasku.


Wahai kekasi jiwa plipur lara, orang-orang mengatakan aku telah gila dan mencemooh cinta di dalal dada. Bagiku semua omongan itu tidak memberi pengaruh apapun selain menambah kecintaan dan kerinduanku padamu. Walaupun engkau jauh namun kasih sayangku tidak berubah dan tidak akan pernah berubah walau jasadku telah bersatu dengan tanah.


Janganlah engkau mengatakan kalimat keluhanku ini indah dan mempesona! Aduh, betapa malang dunia ini. Aku bukanlah penyair yang pandai merangkai syair dengan jalinan kata yang memikat. Aku hanyalah pecinta yang dirundung duka. Jika rintihanku kau anggap syair yang mempesona, lantas di manakah kesedihanku? Mengapa dunia tidak memperhatikan jiwaku yang sedih tetapi mereka justru tertawa mendengar ratapanku.


Kepada Allah aku mengeluh atas kerinduan dan kesengsaraan. Api kerinduanku terus menyala sampai akhir. Engkau tahu, betapa setia aku menunggumu walau sampai ajal merunggutku”.