24 Desember 2008

HAKIKAT CINTA


Seperti angin membadai kau tak melihatnya, tapi kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun, atau merangsang amuk gelombang di laut lepas, atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta, ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda, tak terlihat, hanya terasa, tapi dahsyat.


Seperti banjir menderas kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu, ia kembali tenang seperti harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta, ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuatan besar.


Seperti api menyala-nyala, kau tak kuasa melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun, atau berteduh saat matahari membakar permukaan kulit bumi, atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan, dan seketika semuanya menjadi abu, semua menjadi tiada. Seperti itulah cinta, ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.


Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil sebuah kekuatan yang tak terkira. Ia jelas, sejelas matahari.


Cinta adalah obrolan manusia sepanjang masa. Inilah legenda yang tak pernah usai. Maka, abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Jalaludin Rumi, Muhammad Iqbal, Tagore, ataupun Kahlil Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadi pula legenda Layla Majnun, Romeo Juliet, Sitti Nurbaya, maupun Cinderela. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.


Bila panah cinta telah menghujam hati dan jantung, maka tiada yang dapat dilakukan kecuali mengikuti jalan cinta. Dalam cinta keindahan menyimpan kepahitan, dalam kegetiran terselubung rasa nikmat. Hanya cinta yang memenuhi pikiran si pemuda dan si gadis. Kedua insan larut dalam pesona cinta yang nikmat, dihiasi dengan senyum manis dan tangis rindu. Mereka melewatkan waktu hanyut dalam bahasa jiwa, terkesima dengan cinta yang ada di dalam hati. Mereka seolah berada di taman surgawi dengan gemericik air nan sejuk mengalir.


Jalan yang mereka lalui seperti dihiasi berbagai macam bunga yang indah dan harum. Kata-kata mereka sehangat udara musim panas. Bagi mereka, matahari seolah diciptakan karena cinta, rembulan bersinar juga karena cinta. Bila tak ada cinta maka mustahil air laut dapat mencapai pantai. Setiap tatapan mata adalah ungkapan perasaan dalam hati, karena cahaya mata mampu mengungkapkan ribuan pujian yang tak mampu diucapkan oleh lidah. Ibarat perahu, hanya pada diri gadis saja jiwa pemuda dapat berlabuh. Begitulah khayalan pemuda yang sedang jatuh cinta.




Bersambung.......

09 Desember 2008

RINTIHAN HATIKU II

Ketika kudengar keputusan darinya bahwa ia meninggalkanku, serasa jiwaku laksana kapas yang tertiup angin. Aku hampir gila karenanya. Aku berteriak sekuat tenaga seolah-olah ingin mengguncang dunia dengan suaraku.



Wahai dunia, begitukah balasanmu pada pecinta yang tulus ini? Begitukah balasan yang harus aku terima atas kesetiaan dan pengorbananku? Kemarin aku merasa bayang-bayang kekasihku masih hadir dalam mimpiku, namun kini bayangan itu pun engkau renggut. Apa lagi yang aku miliki sekarang? Wahai dunia, engkau telah mencabik-cabik tubuhku yang lemah tak berdaya ini, mengapa engkau belum puas juga hingga tega merenggut mimpi indahku.




Duhai kasih, di manakah engkau simpan kenangan dan janji kita? Semudah itukah engkau menyerah dan melupakan beban penderitaan yang aku tanggung? Tangan siapakah yang telah mencengkeram dan menjauhkan dirimu dariku? Duhai pujaanku, datanglah kemari barang sejenak, tikamkan belati ke jantungku. Bagiku, tikaman belati yang mencabut nyawaku akan lebih indah daripada hidup menanggung siksaan cinta.




Cinta menyala di sekujur tubuhku bersama desah nafas dan aliran darah. Sementara cintamu hanya di lidah, tidak pernah ada di hatimu. Cinta dalam hatiku kian hari kian bertambah. Apakah menurutmu cintaku tidak berharga bagai bongkah batu di kakimu? Apa arti janji, sumpah ataupun ikrar yang pernah engkau katakan? Penghinaan demi penghinaan aku terima dengan harapan agar kelak hatiku dapat menyatu dengan hatimu. Ibarat taman, tiada kekayaan yang aku miliki selain bunga yang harum dan ranum. Namun, kini semua kekayan itu telah habis dimangsa burung gagak. Apa arti malam-malamku penuh duka nestapa yang aku tanggung untukmu jika pada akhirnya orang lain jua yang mendapatkannya.


Saat pertama kali jiwaku ditakdirkan menjadi milikmu, aku hanya berpikir untuk menyerahkan kehidupanku untukmu. Tetapi, sekarang aku bingung memikirkan janji yang tidak engkau tepati. Kini tiada lagi harapan, tidak mungkin harum baumu kucium, sebab engkau telah menjadi milik orang lain dan itu berarti ajalku telah mendekat.




Wahai cintaku, ke manakah engkau saat aku merana, terusir dan kehilangan dirimu? Hidup hanya menjalar sesaat di uratku dan kemudian bukan milikku sendiri tapi menjadi milikmu. Sejak harapan tidak tersenyum lagi padaku aku hanya bisa meratap, mengenang masa lalu dan menyesali masa lalu.


Kasih, kedukaan tersenyum padaku dan aku pun tersenyum padanya, sedangkan kedukaan membuat engkau ketakutan. Padahal engkaulah yang telah menciptakan.




Makhluk dunia telah merenggut sesuatu yang telah diberikan surga padaku. Saat aku jatuh sakit, mereka menjauhkan pujaan hatiku dari sisiku. Saat aku kedinginan seperti burung yang tersiram air, mereka, mencampakanku seperti melempar anjing. Tidak ada seorang pun yang bersedia menolongku serta sudi mendengar ratapanku. Kini pujaan hatiku, kumbang kelanaku telah pergi. Dia telah menjadi milik orang lain. Penakluk hatiku telah pergi bersama musafir lalu.




Sungguh, tidak ada waktu yang lebih baik selain saat aku bersamanya. Hanya kepada Allah aku memohon agar ia dijauhkan dari segala marabahaya, dari mulut-mulut buas yang suka menghina dan menyakiti dirinya. Sekiranya ada orang yang ingin menyakitinya maka lebih baik ia tikamkan belati ke jantungku. Ya Allah, jauhkan ia dari orang-orang yang suka memperlihatkan air mata kesedihan tapi jauh dalam lubuk hatinya mereka tertawa gembira.




Ya Allah, selamatkan aku dari kegelapan yang tiada akhir ini. Berilah aku satu hari kesenangan, satu peristiwa yang menyenangkan. Amin.







04 Desember 2008

RINTIHAN HATIKU I

“Aku menemukan sekuntum bunga, bunga yang indah dikelilingi oleh onak dan duri. Aku berusaha mendapatkannya tapi penjaganya menghardikku. Lihatlah hatiku, terluka dan berdarah.


Cintaku padanya laksana air yang jernih dan bersih. Tapi, apalah artinya air yang jernih jika tak mampu menghilangkan dahaga. Aku ibarat air di samudera, namun apalah artinya jika airnya tak mampu mengalir dan ombaknya tidak mampu mencapai pantai karena terhalang karang.


Bagiku cintanya bagai awan yang menggantung di langit, lalu menjadi hujan yang mengairi kebun-kebun kehausan. Hujan itu membasahi seluruh taman namun ia tak pernah sampai ke taman hatiku. Hujan itu telah membiarkan tamanku menjadi menjadi kering dan dedaunan yang hijau menjadi layu. Berulang kali aku merintih, memohon dan berharap tapi tetap saja ia tak datang.


Ia bagai setangkai melati putih dan bersih yang memancarkan harum semerbak mewangi. Tapi betapa malang nasib sang melati, tempatnya begitu jauh tak tergapai tangan.


Dalam hati telah terukir satu nama dan ia tak bisa digantikan oleh yang lain. Walau emas dan permata ditaburkan untuk menyilaukan pandangan mata, namun jiwa yang penuh cinta tidak akan terlena oleh kemewahan dunia.


Duhai ..... jika kumiliki seluruh kemewahan dunia tentu dengan senang hati akan kupersembahkan semuanya untukmu. Aku tidak bersedih karena kemiskinan yang mebelit karena harta bukanlah harta yang pantas untukmu. Tidak mungkin aku membeli hati seorang wanita dengan emas dan permata, karena cinta tidak sebanding dengan emas sebesar gunung sekalipun. Cinta yang dapat dibeli dengan emas dan permata hanya akan melahirkan senyum kepalsuan dan lebih baik aku mati daripada mendapatkan cinta yang seperti itu. Cinta harus dibeli dengan kekayaan yang lebih tinggi nilainya daripada segala harta dunia. Akan kuberikan pada kekasihku jiwa yang tulus, hati yang ikhlas serta kehidupan dan nafasku.


Wahai kekasi jiwa plipur lara, orang-orang mengatakan aku telah gila dan mencemooh cinta di dalal dada. Bagiku semua omongan itu tidak memberi pengaruh apapun selain menambah kecintaan dan kerinduanku padamu. Walaupun engkau jauh namun kasih sayangku tidak berubah dan tidak akan pernah berubah walau jasadku telah bersatu dengan tanah.


Janganlah engkau mengatakan kalimat keluhanku ini indah dan mempesona! Aduh, betapa malang dunia ini. Aku bukanlah penyair yang pandai merangkai syair dengan jalinan kata yang memikat. Aku hanyalah pecinta yang dirundung duka. Jika rintihanku kau anggap syair yang mempesona, lantas di manakah kesedihanku? Mengapa dunia tidak memperhatikan jiwaku yang sedih tetapi mereka justru tertawa mendengar ratapanku.


Kepada Allah aku mengeluh atas kerinduan dan kesengsaraan. Api kerinduanku terus menyala sampai akhir. Engkau tahu, betapa setia aku menunggumu walau sampai ajal merunggutku”.